Selasa, 27 Oktober 2009

Artikel: Bila Orang Kaya Menyerbu Sekolah Negeri, Akan Dikemanakan Mereka Yang Tidak Punya Uang?



Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Nirma Marina Lestari
Saya Mahasiswi di Atma Jaya
Tanggal: 26/07/2003
Judul Artikel: Bila Orang Kaya Menyerbu Sekolah Negeri, Akan Dikemanakan Mereka Yang Tidak Punya Uang?

Ibu saya kebetulan memiliki 2 sekolah menengah di Kota Depok, Jawa Barat. Satu sekolah di jenjang SLTP & SMU dan dibangun sejak tahun 1984, kemudian satu lagi baru 3 tahun berdiri dan berada di jenjang TK-SD-SLTP-SMU & SMK Broadcast pertama di Indonesia, keduanya berstatus "Disamakan". Sebagai anaknya, saya tentu diminta untuk selalu ikut "bergabung" mengurusi management kedua sekolah ini sehari-harinya meskipun saya masih berstatus mahasiswi walau Insya Allah akan lulus sebentar lagi.

Banyak hal yang saya pelajari dan saya perhatikan mengenai masalah-masalah pendidikan. Salah satu yang saya perhatikan adalah mengenai pola pikir masyarakat terhadap sekolah yang dinamakan "Sekolah Negeri".

Sekolah Negeri pada dasarnya seperti yang kita ketahui adalah sekolah yang semua penyelenggaraannya diadakan oleh dan atas dana dari Pemerintah Dari mulai biaya pembangunan gedung, penyediaan fasilitas, biaya belanja ATK, pembayaran listrik, telefon, gaji guru dan karyawan yang semua adalah PNS. Di negara lain pun sekolah negeri adalah milik pemerintah dan semua dana berasal dari pemerintah.

Sekolah swasta pada dasarnya adalah dibangun untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak bangsa ini, membantu dalam menyediakan daya tampung, membantu mengurangi Anggaran Pengeluaran/Belanja Pendidikan dari mulai anggaran gaji guru, anggaran sarana prasarana sekolah, dan lain-lainnya.

Sekolah Negeri karena dibiayai oleh pemerintah SEHARUSNYA, layaknya negara-negara lain-khususnya negara maju, GRATIS/ BEBAS BIAYA bagi semua siswanya. Kalau pun kita harus membayar selayaknya tidaklah besar jumlahnya, sekedar membantu kesejahteraan guru atau pengembangan SDM pengajar dan para siswa atau operasional seadanya.

Sementara Swasta, Karena semua bantuan tadi memerlukan banyak biaya dan biaya ini datangnya dari pemilik sekolah, tentu tidaklah heran apabila untuk bisa menikmatinya siswa harus membayar sejumlah biaya yang besarnya bervariasi tergantung keadaan sekolahnya. Sekolah swasta ini hadir dengan berbagai macam keadaan untuk melayani masyarakat dari yang berpenghasilan rendah menengah sampai yang berpenghasilan tinggi.

Sekolah Negeri karena berbiaya rendah seharusnya ditujukan bagi siswa dari masyarakat/keluarga yang berpenghasilan KECIL, baik bagi mereka yang mempunyai intelegensia tinggi sampai yang tergolong biasa-biasa saja! Sementara bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, diharapkan masuk ke sekolah-sekolah swasta!

TAPI APA YANG TERJADI?! Semakin hari semakin bisa kita lihat, dan diantara anda pasti ada pula yang merasakan, bahwa saat ini justru sebagian besar dari masyarakat kita berpola pikir "NEGERI MINDED"..apa pula istilah itu? "NEGERI MINDED" menurut kami adalah pola pikir yang terbentuk dalam benak masyarakat, baik yang kaya maupun miskin, dimana mereka menganggap bahwa sekolah negeri is the best, is everything, so proudly. Akan sangat membanggakan apabila anak-anak mereka bisa diterima di dalam sekolah negeri.

Pola pikir semacam itu terasa kental sekali pada masyarakat yang akan memasuki jenjang pendidikan khususnya SLTP dan SMU! Bahkan yang di Universitas sekalipun!

Semua orang berbondong-bondong menyerbu kesana. Termasuk yang kaya sekalipun! Bangku yang seharusnya bisa diisi oleh semua siswa yang orang tuanya tidak mampu, ikut diperebutkan oleh mereka yang mampu secara finansial.

Keadaan lebih diperburuk dengan adanya KOLUSI dan NEPOTISME.

Kami menemukan di lapangan/banyak sekolah negeri dimana banyak orang tua siswa yang rela untuk menyogok Jutaan Rupiah agar bisa masuk kesana. (disini saya bicara 5-10 juta rupiah seperti kenyataan yang kami temukan di lapangan dan SPP sekitar Rp 150.000,-)! Yang resmi diterima saja dikenakan uang masuk sekitar 2-3 juta per siswa! Padahal uang 2-10 juta itu bisa digunakan untuk bersekolah di swasta yang notabene fasilitasnya lebih lengkap.

Sekarang kalau sekolah negeri penuh dengan siswa dengan orang tua berpenghasilan tinggi, lalu akan pergi kemana mereka yang tidak mempunyai uang? sekolah mana yang tersisa buat mereka? swasta? semurah-murahnya swasta seharusnya Negeri jauh lebih murah karena alasan pembiayaan pemerintah tadi! Akankah kita/anda sekalian tega membiarkan mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula?

Saya ingat perkataan ibu saya yang demikian,"Kalau orang tuanya jadi tukang bakso, anaknya boro-boro jadi juragan bakso, yang ada jadi lebih buruk dari tukang bakso! Karena boro-boro mau lebih maju, sekolah saja tidak dapat tempat!"

Alasan klasik mereka yang masuk sekolah negeri adalah kebanyakan mengatakan bahwa mutu pendidikan disana lebih baik. Siapa bilang demikian? anda bisa melihat kenyataan contohnya di sekolah-sekolah swasta khususnya yang elit di Jakarta, misalnya, Pelita Harapan, Al Izhar, Santa Ursula, dll... Lulusan mereka hampir semuanya bagus-bagus, bahkan kalau indikator yang anda pakai adalah NEM (sekarang nilai UAN), justru nilai tertinggi seringkali didapat oleh siswa swasta. Begitu pula di Universitas Swasta, banyak lulusannya yang menjadi orang berhasil.

Negeri atau Swasta tidak masalah. Semua itu tergantung diri masing-masing, apakah mereka MAU belajar dengan baik atau tidak.

Oleh karena itu, saya menghimbau kepada Anda semua yang kira-kira berpenghasilan yang cukup untuk membiayai anak-anak Anda ke sekolah swasta, sekolahkanlah mereka di sekolah swasta. Berikanlah kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk bisa ikut merasakan dan menikmati pendidikan seperti Anda dan anak Anda semua. Dengan demikian anda turut secara nyata membantu proses pencerdasan bangsa ini.
Terima kasih.

Artikel: Sekolah Milik Siapa?



Judul: Sekolah Milik Siapa?
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Deny Suwarja
Saya Pengamat di Garut
Topik: Penerimaan Siswa Baru
Tanggal: 15 Juli 2004

Nina, seorang calon siswa baru di sebuah SMP negeri. Tidak seperti siswa lainnya, Nina tidak merasakan kekhawatiran tidak diterima ketika dia mendafarkan dirinya ke SMP favorit di kotanya. Nina yakin 100% bahwa walaupun NEM yang dia peroleh waktu di SD tidak akan melewati passing grade yang ditentukan, dia pasti akan dapat masuk ke SMP tersebut dengan mudah.

Dia bercerita kepada teman-temannya bahwa keyakinannya dapat masuk ke SMP negeri dengan mudah disebabkan karena dia mempunyai kerabat yang mengajar di sekolah tersebut. Dia bercerita bahwa, Kerabatnya telah menitipkan dirinya kepada Kepala SMP bersangkutan dan kepada Panitia PSB agar namanya tercatat sebagai murid yang lolos seleksi. Walaupun namanya tersebut tidak tercantum dalam siswa yang terdaftar atau kalaupun daftar tetapi tidak lolos dia pasti tetap dapat jatah kursi.

Nina menceritakan hal itu kepada Budi teman akrabnya, yang kebetulan juga bersamaan dengan dia untuk melanjutkan ke SMP yang sama. Budi tidak seberuntung Nina, karena Budi hanyalah anak seorang buruh tani. Sehingga orang tuanya tidak mempunyai daya dan kekuatan apapun untuk juga menitipkan dirinya agar dapat diterima di SMP tersebut dengan mulus seperti Nina. Getir dan pahit sekali perasaan Budi ketika mendengar cerita ceria dari Nina. Hatinya seperti ditusuk-tusuk ketika mendengar kemudahan yang diperoleh Nina.

Namun Budi menyadari kelemahan dan ketidakmampuan orang tuanya, dia hanya bisa bersabar diri dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa usahanya tidak sia-sia dan dia yakin Tuhan Maha Melihat dan Maha Tahu mana perbuatan yang lebih mulya, mana perbuatan yang benar. Biarlah pengadilan di akhirat kelak yang akan membuktikan.

Nina bisa tenang (walaupun tanpa kehormatan) karena dia dapat masuk dengan jaminan 100%. Kesaktian kerabatnyalah yang menjaminnya dapat duduk di kursi dan belajar dengan tenang di SMP tersebut. Berbeda dengan Budi yang bila NEMnya tidak memenuhi passing grade dia akan terjungkal dan harus menerima kenyataan pahit untuk belajar di sekolah swasta. Sekolah yang dinilai selama ini sebagai the second school baik dari segi mutu guru atau mutu pendidikannya. Sekolah swasta yang paling ditakuti oleh orang tuanya, karena biaya DSP bulanannya melebihi biaya di SMP negeri. Sekolah yang mau atau tidak mau harus ditempuh yang justeru biasanya oleh orang kebanyakan.

Jumlah siswa yang bernasib "mujur" tapi tidak jujur seperti Nina sebenarnya lebih sedikit daripada jumlah siswa yang "jujur" tapi tidak mujur seperti Budi. Ironisnya hal tersebut seperti mendominasi pada setiap tahun ajaran baru. Ada Nina yang puterinya pejabat anu, Nina titipan dari anggota dewan, Nina yang anaknya tokoh masyarakat anu, Nina yang cucu dari kiai anu, Nina yang anaknya aktifis anu dan sebagainya.

Dari kenyataan di atas timbul pertanyaan, sekolah itu milik siapa? Sekolah yang seharusnya menjadi milik semua lapisan masyarakat atau public property telah berubah menjadi milik pribadi alias private property. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat untuk mendapat pendidikan sewajarnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Berubah fungsi menjadi tempat segelintir orang yang merasa mempunyai kekuasaan untuk dapat memasukan anak atau kerabatnya dengan mudah dengan tidak pernah mempertimbangkan keadilan dan perasaan orang yang tidak mampu.

Sekolah yang seharusnya menjadikan tempat untuk menjadikan siswa belajar bagaimana cara belajar (learning to learn) menggali nilai dan kompetensi diri telah dipelintir menjadi bagaimana cara menggali ketidak benaran. Siswa yang seharusnya diajari bagaimana melakukan (learning to do) hal-hal yang baik telah terpeleset menjadi bagaimana melakukan ketidakbaikan menjadi "terlihat" seperti baik. Sekolah yang seharusnya menjadikan siswa dapat belajar bagaimana dia hidup menjadi dirinya sendiri (learning to be) dengan dasar kejujuran telah tergelincir menjadi bagaimana agar dia tetap hidup dengan segala cara agar dia tetap mendapatkan kemudahan. Sekolah yang seharusnya mengajarkan kepada anak didiknya bagaimana mereka dapat hidup bersama dengan masyarakatnya atas dasar kesamaan hak dan keadilan (learning to live together) telah terhapus oleh pendidikan bagaimana menutup jati dirinya dengan ego lebih dari masyarakat lainnya karena kekuasaan yang dipunyai kerabatnya.

Sekolah yang seharusnya menjadi milik masyarakat telah berubah kepemilikan menjadi milik kelompok tertentu yang memegang kekuasaan di lingkungan sekolah. Kita melihat dengan hati miris, bagaimana sekolah menentukan DSP alias Dana Sumbangan Pembangunan tanpa melalui rapat. Secara sepihak meminta kepada orang tua murid untuk melunasi DSP plus seragam batik, seragam putih biru/abu-abu, sepatu, atribut dan lain sebagainya, sekian ratus ribu. Dana terus berlanjut ketika anaknya telah resmi menjadi siswa sekolah tersebut, MOS, iuran pramuka, iuran perpisahan. Anehnya dana tersebut tidak jelas pertanggungjawabannya!

Hal itu mungkin tidak bermasalah bagi orang tua murid yang mempunyai penghasilan tetap. Tapi bagaimana dengan orang tua yang berperan sebagai buruh tani, pedagang asongan atau tukang beca? Haruskah anak-anak mereka tersingkir oleh kebijakan sekolah yang tidak bijak? Bukan hal yang aneh pada setiap tahun ajaran baru pegadaian, menjadi ramai oleh orang tua yang menggadaikan hartanya demi sekolah anak-anaknya. Bukan hal yang aneh pula ketika sekolah telah menjadi pasar bebas tempat para kapitalis memperdagangkan jualan dan menuai keuntungannya.

Mungkin perjuangan dan pengorbanan orang tua tidak sia-sia bila penggunaan dari uang hasil mandi keringat dan air mata tersebut sesuai dengan peruntukannya atau sesuai dengan kualitas barang yang diterima anaknya. Kenyataannya? Ambil satu kasus sepatu hitam warrior yang dipakai anaknya, tidak sampai 2 bulan sudah amburadul. Ketika penulis menanyakan hal itu, seorang guru yang bertanggung jawab atas pengadaan sepatu tersebut dengan enteng menjawab. "Wajar aja kan harganya hanya dua puluh lima ribu perak jadi kualitasnya jelek seperti itu!"

Bila kondisi seperti di atas yang hanya menguntungkan satu pihak tertentu saja tanpa melibatkan kepentingan hajat hidup orang banyak terus berlanjut, di negeri yang katanya berdasarkan Panca Sila ini bukan hal yang aneh pendidikan kita peringkatnya akan terus terjun bebas ke peringkat yang lebih rendah lagi. Padahal kita ketahui peringkat pendidikan kita diantara 12 negara Asia, peringkatnya berada pada peringkat 12 alias palig bontot!

*Aktifis Milis MP2I (Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia) Bandung

Artikel: REVOLUSI TEKNOLOGI HANDPHONE DAN DUNIA PENDIDIKAN KITA



Judul: REVOLUSI TEKNOLOGI HANDPHONE DAN DUNIA PENDIDIKAN KITA
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): HIDAYAT RAHARJA, S.Pd.
Saya Guru di SMA NEGERI 1 SUMENEP
Topik: TEKNOLOGI HANDPHONE
Tanggal: 3 DESEMBER 2008

REVOLUSI TEKNOLOGI HANDPHONE Dan DUNIA PENDIDIKAN KITA

Oleh: Hidayat Raharja*

Revolusi teknologi komunikasi berkembang demikian pesat, selalu mengalami inovasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia, kenyamanan, dan hiburan. Teknologi sebagai hasil aplikasi sains tidak dapat diingkari telah memberikan aneka dampak bagi kehidupan manusia. Dengan aneka bentuk dan produknya teknologi mampu meringankan tugas manusia, serta meniscayakan untuk men ingkatkan kesejahteraan manusia.

Bentangan jarak antar benua berkat kemajuan teknologi selluler dapat diperpendek dengan jalur komunikasi yang sangat luas. Bahkan dengan generasi terbaru - 3G - komunikasi antar personal dapat pula disaksikan wajah antara komunikan dan komunikator.

Untuk kenyamanan dan melayani kebutuhan Konsumen beberapa produsen memproduksi aneka jenis handphone dengan aneka fasilitas yang disediakan sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Radio FM, Kamera digital, Video, televisi telah teraplikasi dalam perangkat handphone. Kemajuan teknologi yang memanjakan kosnsumennya.

Dalam dunia pendidikan perkembangan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi sebuah fenomena yang menuntut dan mengharuskan pada stakeholder dan pelaku pendidikan untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi, serta menerapkannya dalam dunia pendidikan.

Abad teknologi, sebuah era yang tidak memungkinkan bagi manusia untuk menghindari dan mengabaikannya. Komputer, LCD / infocus, video, internet, sebagian dari produk teknologi informasi, saat ini bukan sesuatu yang asing dalam dunia pendidikan, khususnya sebagai media dalam proses pembelajaran di dalam kelas.

Eksplorasi terhadap fasilitas yang tersaedia dalam perangkat teknologi dan layanan kartu selluler, membuka eksplorasi terhadap luasnya dunia pengetahuan. Perangkat yang mudah didapat dengan aneka fasilitas yang memungkinkan untuk memberikan layanan internal institusi atau lembaga pendidikan, serta antar individu; murid dengan murid, guru dengan murid atau sebaliknya.

Perkembangannya Handphone semakin dilengkapi dengan aneka fasilitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan konsumen, kenyamanan, dan kesenangan yang menyenangkan. Aneka fasilitas mulai dari mms, radio fm, internet, tv, mp3, vodeo, kamera digital adalah perkembangan fasilitas yang diaplikasikan dalam perangkat handphone.

Selama ini aneka fasilitas yang teraplikasi dalam peramghkat handphone, masih digujnakan sebatas hiburan untuik mengisi waktu senggang, dan semacamnya. Persepsi yang kemudian memunculkan stigma negatif terhadap handphone di dunia pendidikan. Handphone selalu dikonotasikan membawa dampak negatif bagi kehidupan remaja atau pelajar.

Pada hal dalam sebuah survey kecil dalam sebuah acara tlkshow di metrotv yang mengundang beberapa kalnangan dari berbagai profesi, ternyata yang membuka gambar porno lewat handphone juga dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dan beberapa kalangan profesional,, di samping juga disitu terungkap beberapa pelajar melihat foto porno bukan karena kehendaknya, tetapi dikirimi temannya, karena fasilitas handphone yang memungkinkan untuk menerima kiriman semacam itu.

Fasilitas yang tersedia dalam layanan selluler , merupakan pisau bermata dua ; bermanfaat jika arif dan bijak dalam memanfaatkannya, sekaligus mencelakakan jika lalai terhadap dampak yang ditimbulkannya. Semisal; pertama betapa banyak korban yang tertipu layanan sms berhadiah. Kecerobohan yang disebabkan kehilangan akal sehat, ingin mendapatkan sesuatu (hadiah) tanpa harus bersusah payah. Kondisi yang kemudian dmanfaatkan para pemilik modal dengan memanfaatkan artis, agamawan, tukang ramal (paranormal) untuk memberikan layanan sms melalui call sentre dengan tarif yang mahal atau tak wajar, antara Rp.2.000 - 3.000 / sms. Anehnya tawaran semacam itu masih banyak pengkikutnya, penanda makin kuatnya instansi kehidupan dalam sebuah gaya hidup skeptis dan fragmatis.

Juga tidak sedikit waktu guru terbuang di kelas saat melaksanakan pembelajaran karena sibuk ber sms dengan seseorang dan bahkan menerima panggilan di saat mengajar di kelas. Sebuah lanskap yang kurang etis dipandang dari sudut pendidikan etika, karena guru memberikan contoh yang tidak baik. Sebaiknya saat aktif mengjaar di kelas handphone harus dalam keadaan non aktif (off) atau kalau pun aktif memakai sinyal getar dan menjawab panggilan dilakukan di luarv kelas denganb meminta ijin terhadap kelas yang ditinggalkan. Sayang, memang kalau teknologi komunikasi yang masuk ke dalam ruang belajar tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas pembelajaran.

Akan sangat berbeda apabila fasilitas layanan short message service (SMS) dipergunakan untuk memberikan layanan bagi peserta didik untuk melakukan remedial atau perbaikan pembelajaran yang

Artikel: Anak Belajar, Orang tua Belajar , akhirnya Masyarakat juga Belajar

Judul: Anak Belajar, Orang tua Belajar , Akhirnya Masyarakat juga Belajar
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Octavia Wury
Saya Guru di Sekolah Murah Pondok Anak Pertiwi
Topik: Belajar untuk semua
Tanggal: 13 April 2008

Sekarang ini Sekolah identik dengan sebuah gedung mewah yang tertutup oleh tembok - tembok beton yang tinggi dan MAHAL.. Sebuah momok yang menakutkan bagi para orang tua yang kurang mampu yang ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang memiliki kualitas yang nomer satu... Melihat anak - anak pemulung dan pengemis dipinggiran jalan kota jakarta membuat saya berpikir,Pendidikan berkualitas saat ini begitu menakutkan untuk mereka yang hanya mengandalkan gelas - gelas plastik... Karena alasan itulah kuputuskan untuk lepas dari semua rutinitasku sebagai seorang guru disebuah sekolah yang cukup ternama dan mengabdikan seluruh ilmu yang kumiliki untuk sebuah Pondok di wilayah Gandul,Cinere yang menampung anak - anak kaum marjinal. Pemiliknya adalah seorang Ibu,yang telah mengabdikan dirinya untuk anak -anak selama 23 tahun,dia bukan dari keluarga kaya, dia hanya memiliki semangat yang akhirnya ia wujudkan lewat sekolah ini. Ditempat ini kami mendidik anak tidak hanya kemampuan akademis tapi juga karakternya..Kami membiasakan mereka untuk selalu mengatakan "Aku BISA,Aku PINTAR" karena buat kami kecerdasan dalam akademis bisa dicapai dengan maksimal saat anak betul-betul menikmati PROSES dalam belajar mereka. Dan terbukti walaupun sekolah kami hanya sebuah pondok kecil, semangat belajar yang mereka miliki SANGAT BESAR.....

Artikel: Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Generasi Muda



Judul: Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Generasi Muda
Bahan ini cocok untuk Sekolah Lanjutan TP bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Bhinuko Warih Danardono
Saya Mahasiswa di Fakultas Psikologi UST Jogjakarta
Topik: Import Budaya Luar Yang Dapat Mengganggu Citra Siswa
Tanggal: 26 September 2008

Inilah hal yang dapat kita pertanggung jawabkan mengenai pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Mengapa kita harus selalu mengikuti jalur yang seperti ini apakah budaya asing dapat memberikan solusi tentang perbaikan jati diri setiap manusia khususnya siswa yang duduk di bangku sekolah. Karakter manusia itu berbeda-beda karena ini semua tergantung oleh sifat dan watak perilakunya masing-masing. Pada dasarnya dalam menyikapi tentang persoalan yang demikian ini kita justru cenderung pada bagaimana upaya penanggulangannya agar supaya jati diri kita sebagai manusia yang sejati tidak rusak. Fenomena alam sudah terlihat adanya musibah dimana-mana dari sinilah kita menginstropeksi diri tentang apa kesalahan kita karena dari sini kita dapat menggali dalam dalam bahwa sebenarnya yang patut disalahkan itu pihak asing ataukah kita sendiri. Insight terhadap anak didik khususnya remaja yang cenderung melakukan tindakan anarkhis dengan jalan kekerasan lewat cara entah itu tawuran,perkelahian perkosaan sampai berujung kriminal.

Inilah remaja yang sukanya seenaknya sendiri apakah kita harus mencontoh mereka juga. Dalam hal ini sudah diupayakan lewat jalan observasi di sekolah-sekolah yang intinya juga sama dimanapun sekolah yang terfavorit ataupun yang biasa juga melakukan tindakan kekerasan. Generasi muda menjadi mlempem, atau seperti hewan undur-undur yang jalannya mundur yang artinya dia jika berhadapan dengan orang jujur tidak mau jujur sehingga mampu menutupi kebohongannya. Jaman ini semakin berubah sampai berubahnya tidak mampu untuk bisa mengontrol mengenai manusia yang tinggal dibumi ini. Sebenarnya bumi langit adalah titipan dari yang maha kuasa tanpa tuhan menciptakan bumi langit dan isi-isinya kita tidak mungkin bisa hidup.

Artikel: Advokasi madrasah di gresik

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian Mohon Pilih.
Nama & E-mail (Penulis): M. Saifullah
Saya Dosen di Gresik
Tanggal: 17 mei 2004
Judul Artikel: Advokasi madrasah di gresik
Topik: penguatan Inisiatif Madrasah dalam pengusulan Kebijakan Publik daerah gresik

Salam,
Naskah ini berasal dari proses legislasi yang diinisiasi oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Gresik bersama para akademisi Gresik, aktifis Gresik, praktisi hukum gresik dalam mengawal pengusulan kebijakan daerah yang berkaitan dengan madrasah Gresik.

Proses diawali dengan penelitian tentang kesiapan institusi lokal dalam merespon otonomi daerah (2001), yang kemudian dilanjutkan dengan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan daerah(sept 2002-apr 2003). Terakhir, melakukan penguatan inisiatif warga dalam pengusulan kebijakan publik daerah(mei 2003-nov2004.

saat ini masih dalam proses pengawalan dan membutuhkan dukungan yang seluas-luasnya dari semua pihak.
salam,
saiful
koordinator PATTIRO Gresik
Jl. Pontianak I/35 GKB Gresik

Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwasannya kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Sedang kewenangan bidang pemerintahan yang dilaksanakan daerah meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, dalam PP. No. 25 Tahun 2000 disebutkan, bahwa kewenangan daerah juga meliputi penetapan kurikulum muatan lokal pada TK, SD, dan SLTP; dan untuk merencanakan, menetapkan dan mengelola pendidikan di antaranya adalah memfasilitasi peran serta masyarakat di bidang pendidikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan karir tenaga kependidikan, membina pengelolaan sekolah, dan melaksanakan inovasi pendidikan.

Bila menatap kebijakan yang ada di kabupaten Gresik, seharusnya bidang pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah Gresik, dan sudah termaktub dalam renstra Kabupaten Gresik. Hal itupun, tentunya sejalan dengan arah kebijakan umum (prioritas pembangunan) kabupaten Gresik. Dengan begitu, misi pembangunan Gresik dapat dijalankan oleh dinas-dinas di unitnya masing-masing. Sehingga nanti misi kabupaten Gresik menjadi visi dari dinas-dinas.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, bahwasannya pendidikan diwenangkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termaktub dalam visi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik, yaitu mencita-citakan terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, dan sejahtera. Sementara, misi yang diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik adalah terwujudnya masyarakat yang agamis dan modern. Sayangnya, prinsip demokrasi, partisipasi, pemerataan, keadilan, yang memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan merupakan hakekat otonomi daerah belum tampak.

Salah satu potensi daerah Kabupaten Gresik adalah madrasah. Dengan berbagai keanekaragamannya, madrasah sarat dengan permasalahan. Permasalahan itu timbul tatkala semua kebijakan (pemberian THR, mekanisme distibusi dan subsidi dana, sengketa guru dengan Yayasan, dll) dianggap tak dilandasi kepastian hukum dan tidak sesuai aturan.

Sejak pemberlakuan otonomi pendidikan di kabupaten Gresik pada tahun 2001, stereotif pada komunitas madrasah masih layak untuk ditindaklanjuti. Bila terkait dengan kebijakan yang ada saat ini, yaitu pemberian subsidi dan THR kepada guru swasta, namun tidak didasari kepastian hukum. Sehingga, dapat saja kebijakan tersebut diubah bahkan ditiadakan. Maka, perhatian Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permasalahan di atas perlu diupayakan.

Kondisi di atas, seharusnya ada indikator dan menjadi target dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik agar terjadi sinergi yang dinamis dan sehat antara lembaga negeri dan swasta. Untuk menunjang sinergi sebagaimana visi di atas, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan agamis perlu persiapan dengan segera melakukan konsolidasi ke dalam. Bentuk konsilidasi ini dapat berupa pemberdayaan di tingkat internal pelaku dan komunitas madrasah agar kelak dapat menghadapai tantangan sebagaimana visi dan misi yang diamanatkan pemerintah daerah. Lebih lanjut, dituangkan dalam visi Subdin Pergurais, yaitu terciptanya lembaga pendidikan agama Islam yang berkualitas, minimal sejajar dengan lembaga pendidikan umum. Disebutkan pula dalam misi Pergurais kelak diharapkan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar (poin 4)

Rupanya, langkah-langkah Pemkab dalam memberi kebijakan, dirasa masih belum menyentuh esensi kebutuhan dan kepentingan subyek dan stakeholder pendidikan pada umumnya dan sangat signifikan apabila ada suatu kepastian hukum (regulasi) bagi guru madrasah maupun swasta yang ikut berpartisipasi dan berperan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal demikian, sejalan dengan pasal 8 UU Sisdiknas, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sehingga, produk payung hukum yang tercipta kelak menjadi inisiatif bagi pembuat kebijakan Gresik (eksekutif dan legislatif), dan penentu kebijakan selanjutnya, untuk tetap perlu mengimplikasikan produk-produk hukum atas inisiatif masyarakat (bottom up). Proses di atas dapat diawali dengan munculnya inisiatif guru-guru madrasah dan komitmen yang kuat penentu kebijakan (anggota dewan, Dinas, dll.) untuk menjadikan pendidikan Gresik lebih baik dan bermutu. Lebih lanjut, akan sangat mudah bila saat ini sudah ada nilai esensial yang berjalan (usulan Guru madrasah dan komitmen penentu kebijakan) dan dapat menggagas suatu konsep ideal kepastian hukum peraturan di daerah.

Parameter keberhasilan pendidikan di Gresik secara umum (sosiologis, ekonomis, antropologis) belum pernah diteliti dan dikaji secara komprehensif, sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat Gresik "sampai saat ini" belum dapat diukur secara pasti, dan perlu ada tindakan nyata dari semua unsur masyarakat. Apalagi, dengan adanya moment Pemilu dan Pilkada, masyarakat Gresik cenderung refresif dan sangat rentan terhadap terjadinya berbagai krisis. Krisis multidimensi tersebut mengarah pada menurunnya kesalingpercayaan, baik secara horisontal maupun vertikal, baik dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten sehingga mengancam persatuan di daerah. Oleh karena itu, sektor pendidikan daerah, khususnya madrasah adalah bagian dari tantangan yang sangat berat untuk ikut mengatasi situasi krisis yang ada di kabupaten Gresik.

Berarti, konsekuensi logis sektor pendidikan, pada dasarnya tidak steril dari berbagai pengaruh sistem kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sistem kehidupan tersebut seharusnya secara sinergis memberikan dukungan bagi setiap upaya pembangunan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem yang ada belum dapat memberikan dukungan sepenuhnya, sehingga sektor pendidikan belum mampu ikut menanggapi secara optimal krisis multidimensi yang dihadapi Kabupaten Gresik saat ini.

Adanya upaya pembaharuan, pengembangan, dan pemberdayaan sistem pendidikan di daerah harus disikapi agar sistem itu mampu membackup berbagai tantangan di daerah. Upaya tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menciptakan sistem pendidikan di daerah yang memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dan berciri khas lokal. Dengan cara demikian sistem pendidikan daerah dapat menjaga kemanfaatannya bagi upaya pencerdasan masyarakat Gresik dan mampu menanggapi secara proaktif berbagai tuntutan kehidupan nasional, dan global.

Dalam era desentraslisasi, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan daerah Gresik meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan rendahnya kesejahteraan guru swasta, kurangnya sarana dan prasarana pendukung, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sehingga hal itu terkait dengan pemerataan (siswa-guru), mutu (siswa-guru-lembaga), relevansi (pengangguran-drop-out), dan efisiensi dan efektifitas. Meski dilandasi kesadaran dari pelaku madrasah di Gresik, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pada saat ini masih bersifat insidental dan instant, serta dipandang hanya sebagai bentuk belas kasihan dari pemerintah.

Menurut pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ditambahkan, dalam pasal 11 ayat (2), bahwasannya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendididkan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Maka, keberhasilan sistem pendidikan daerah (madrasah) dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut akan sangat menentukan kemampuan generasi mendatang untuk membangun kehidupan masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, sejahtera, dan demokratis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan survey dan kajian yang dilakukan PATTIRO Gresik mulai tahun 2001 hingga 2003, persoalan yang muncul di komunitas madrasah meliputi jaminan kesejahteraan Guru Madrasah, pemberian kesempatan berkembang yang sama, transparansi dalam penentuan bantuan, peningkatan quota Guru yang diperbantukan ke Madrasah, kontribusi perusahaan di daerah ke Madrasah, kepastian jenjang karir bagi Guru Madrasah, BKM yang tidak imbang, pengelolaan Depag yang terpusat, Siswa MTs banyak yang tidak mampu, Implementasi tidak terarah, BKM dan BKG tidak merata, Implementasi tak sesuai aturan, distribusi anggaran/bantuan tidak transparan, pelibatan madrasah dalam penyusunan panitia bersama, pelibatan madrasah dalam rayonisasi, dan kebijakan UAS dikaji ulang.

C. Rumusan Masalah

Terkait dengan kompleksnya permasalahan yang ada di madrasah, yang menjadi tantangan dberkaitan dengan permasalahan madrasah meliputi:

1. Arah orientasi kebijakan

Pengambilan kebijakan, selama ini, masih saja bersifat top-down, mulai dari perumusan (perencanaan-penganggaran), pelaksanaan, maupun evaluasi. Minimnya peran dan partisipasi pelaku madrasah dalam setiap pengambilan kebijakan menyebabkan masalah baru dalam implementasi. Hal ini sebagai indikator bahwa relasi guru madrasah swasta (as a social society) dengan Pemerintah masih rendah. Rendahnya relasi dan posisi tawar guru madrasah menyebabkan berbagai permasalahan.

Pengambilan keputusan selama ini hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja di kalangan pemerintahan. Masyarakat umum dan madrasah pada khususnya kesulitan mengenai rencana yang disusun sebagai kebijakan pendidikan. Hal ini tentu mengurangi optimalisasi pelaksanaan, karena kebijakan yang diambil seringkali teralienasi dari kenyataan di lapangan.

2. Kebijakan Departemen Agama

Korelasi konkrit antara kebijakan yang ada, mulai dari Komite Sekolah/Majlis Madrasah, Kelompok Kerja Madrasah, sampai dengan Dewan Pendidikan, mengacu pada kebijakan Pusat. Kebijakan tersebut "memang" bertujuan agar pola hubungan antara masyarakat, wali murid, guru, dan yayasan serta pemerintah cukup berimbang dan saling bahu-membahu dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, implementasi kebijakan tersebut masih sebatas formalitas. Kultur yang demikian perlu pemberdayaan paradigma bagi pelaku dan stakeholder pada umumnya.

3. Pelaksanaan evaluasi

Saat ini, berbagai mekanisme tentang pengalokasian dana untuk penyelenggaraan UAS di setiap madrasah, bantuan dana operasional pendidikan, dan distribusi pengawasan Madrasah - umum swasta tidak berimbang. Ini dirasakan memberatkan dari segi pendanaan, waktu pengajaran yang berkurang dan tidak efektif.

Padahal, bila mengacu pada SKB antara Diksar dan Dikmen Depdiknas dan Dirjen Bagais Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN EVALUASI BELAJAR TAHAP AKHIR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 1999/2000, sekolah/madrasah yang mempunyai status diakui diperbolehkan untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Terkecuali sekolah/madrasah yang belum memiliki status diakui atau disamakan. Namun pada kenyataanya, madrasah yang sudah memiliki status diakui dan disamakan masih harus mematuhi kebijakan SKB Dikbud dan Depag Gresik tentang pengawasan mata pelajaran umum dan agama. Sehingga, mata pelajaran umum menjadi kewenangan pengawas sekolah umum, sementara beban anggaran, ada pada madrasah yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena mata pelajaran yang diampu oleh pengawas mata pelajaran agama dan umum tidak sama.

Dalam hal layanan informasi yang berkaitan dengan perencanaan anggaran, dominasi Pemerintah terlalu kuat dibanding masyarakat. Seharusnya, berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (2) UU. No. 20 Tahun 2003, bahwasannya masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dalam pasal 58.

Tambahan pula, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana kabupaten Gresik, layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Dari 115.313 usia 0-6 tahun, yang terlayani pendidikannya hanya sekitar 20 %. Usia 7-12 tahun yang belum terlayani pendidikannya sekitar 1.596 anak, usia 13 - 15 tahun sebanyak 4.434 anak, dan anak usia 16 - 18 tahun sebanyak 22.671 anak, lainnya melalui kelompok bermain (Kompas, 20 Juni 2003)

Berkaitan dengan output lulusan, diperkirakan, setelah adanya kebijakan Kepmen Diknas RI Nomor 011/U/2002, Kepmen Diknas RI Nomor 012/U/2002, Kakandikbud Jatim Nomor 050/64/108.03/2003, dan Edaran Kakanwil Depag Jatim Nomor W.m/6-a/PP.01.1/204/2003 tentang Surat Tanda Kelulusan (STK) dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dengan bahwa peserta ujian dianggap lulus hanya jika nilai rata-ratanya 3,00 dari nilai murni Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan demikian standar nilai ini akan semakin menambah jumlah anak yang tidak berhasil lulus dan putus sekolah. Selanjutnya ketidaklulusan ini akan menyulitkannya dalam mencari pekerjaan dan menambah pengangguran. Bahkan, tahun depan telah direncanakan pemberlakuan standar nilai minimal kelulusan adalah 4,01.

Menurut data BKKBN Gresik, laju pertumbuhan penduduk Gresik tahun 2002 diproyeksikan akan mencapai 1,65 persen (BKKBN, 2002). Lebih dari separuh penduduk (60%) terkonsentrasi di pedesaan. Dengan demikian, kebutuhan akan kesempatan memperoleh pendidikan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya anak usia sekolah.

Hal itu menandakan bahwa, ketidakmerataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok: (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil (0.0872), (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya., (c) wanita, indikatornya adalah pendidikan ibu terakhir tamat SD/MI (24,4 %) dan tamat SMP/MTs (25,2 %) (Balitbangda, 2004) Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masalah tersebut dapat menghambat penegakan hak asasi manusia. Semua persoalan itu, pada gilirannya, dapat menghambat pembangunan kabupaten Gresik menuju terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, demokratis, berkeadilan, dan sejahtera. Tantangan tersebut perlu segera dijawab melalui kebijakan dan strategi yang tepat.

4. Mutu Pendidikan

Dalam aspek mutu kinerja sistem pendidikan belum sesuai dengan harapan daerah Gresik, bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar nasional. Hal ini tandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk yang buta huruf, yaitu berkisar 5.999 jiwa. Berdasarkan indek pengembangan manusia (IPM), IPM Gresik mencapai 0,62 %. Artinya, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan standar hidup layak masyarakat Gresik dikategorikan menengah ke bawah. (Balitbangda, 2004)

Selain itu, ukuran standar kinerja belum ada. Anehnya, sudah tercantum Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) pada RAPBD 2004 (bisa dikaji ulang adanya pasal 2 (4) huruf b PP No. 25 Tahun 2000 dan pasal 8 dan 20 (1) PP. No. 105 Tahun 2000). Sehingga, indikator pengukuran satuan kinerja per unit sulit diukur. Teorinya, indikator rendahnya mutu pendidikan; untuk siswa dapat dilihat pada jumlah siswa yang lulus dibanding siswa yang tinggal kelas dan putus sekolah. Guru, dilihat dari kualifikasi dan kompetensi dibanding kesejahteraan, masyarakat yang melek huruf dibandingkan dengan yang buta huruf. Jumlah angka usia produktif dan angka pengangguran berdasarkan kualifikasi pendidikannya.

Menurut Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992), studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Selain itu, hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.

Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan adalah kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Gresik. Indikator-indikatornya adalah merebaknya pemakai narkoba (sekitar tahun 2003 banyak penangkapan pemakai dan pengedar narkoba di warung kopi), praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme, judi togel, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia (psk, miras, perkosaan), dan ketidakmampuan menyelesaikan kasus-kasus di komunitas terkait (PHK buruh plywood, trawl-nelayan). Indikator lain adalah eksploitasi pengelolaan sumber daya alam (asmeralda heiss, polowijo) sehingga diprediksi akan menambah jumlah pengangguran. Kegagalan pendidikan dalam membentuk moral kepribadian masyarakat Gresik tentu saja ikut memberikan andil pada masalah ini.

Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini belum berhasil memfasilitasi pengembangan masyarakat Gresik dengan segala ciri khas yang diinginkan, seperti telah disebut pada tujuan pendidikan nasional dalam UU SPN RI 2003.

Tantangan yang berkaitan dengan kualitas ialah bagaimana menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di era global, paling tidak untuk memberi keseimbangan antara lulusan negeri dan swasta. Keunggulan itu dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta keterampilan hidup yang bermartabat.

5. Relevansi

Pendidikan di Gresik juga masih mengalami masalah relevansi. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat dilihat dari banyaknya pengangguran, seperti ditunjukkan oleh data BKKBN 2002, jumlah pengangguran usia produktif 19 -35 tahun sebanyak 21.367 orang. Sementara jumlah penduduk yang masih belum mengenal huruf atau buta aksara mencapai 5.999 penduduk.(Kompas, 20 Juni 2003)

Di samping itu, berdasarkan data Balitbangda Gresik, bahwa jenjang pendidikan masyarakat Gresik masih rendah (30,85 %). Sementara itu, sulitnya lapangan pekerjaan di kabupaten Gresik akan menambah beban sosial di kemudian hari. Bahkan, berdasarkan data Dikbud, 2001/2002, tingkat anak putus sekolah untuk tingkat SD/MI sebesar 0,13 %; SLTP/MTs sebesar 0,60 %, dan 0,94 % untuk SM/MA. Kecilnya Angka Putus Sekolah akan menambah jumlah pengangguran. Ini berarti bahwa kurikulum pendidikan tidak menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja.

Tantangan relevansi pendidikan berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur ekonomi agroindustri dan manufaktur, manajemen masih bertumpu pada tenaga manusia dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi menengah ke bawah. Sementara itu, dalam era informasi dan komunikasi, manajemen bertumpu pada teknologi tingkat tinggi. Dalam kenyataannya pendidikan masih berorientasi pada cara-cara yang konvensional sehingga menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran program pendidikan keterampilan hidup yang berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan struktur ekonomi baru tersebut.

Implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan tersebut menggambarkan rendahnya kualitas potensi sumber daya manusia di Kabupaten Gresik untuk dapat memanfaatkan peluang bekerja pada sektor formal yang cenderung membutuhkan kualifikasi latar belakang pendidikan lebih tinggi. Idealnya transformasi struktur ekonomi Kabupaten Gresik yang telah berciri industri dapat dimanfaatkan oleh kelompok umur produktif (15 sampai 65 tahun) sebagai mata pencaharian utama apabila tingkat pendidikan yang dipersyaratkan oleh kesempatan kerja berkesesuaian satu dengan lainnya. Namun peluang kerja di sektor formal yang membutuhkan tingkat pendidikan formal setingkat SMA diisi oleh pencari kerja dari daerah lain, karena rendahnya rata rata tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Gresik.

Artikel: Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal



Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Jemi Hendri Sugito
Saya Masyarakat di Jogja
Tanggal: 14 Juni 2004
Judul Artikel: Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal
Topik: Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak terasa, sekarang saya sudah berumur 21 tahun. Seiring dengan semakin dewasanya saya dan tentu saja bertambahnya wawasan yang sedikit demi sedikit telah saya peroleh, akhirnya saya menyadari bahwa semua hal yang ada di sekitar kita (khususnya pendidikan di sekolah) ini terkait dengan faktor keuangan kita (kecuali keimanan kita). Saya mempunyai pandangan seperti itu karena saya dibesarkan di keluarga (yang bisa dibilang)yang keuangannya sangat terhambat. Saya merasakan mahalnya pendidikan setelah masuk ke jenjang perguruan tinggi ini. Sejauh yang saya tahu, Perguruan tinggi selalu saja menaikkan tarif SPP,SKS ataupun lainnya setiap tahun ajaran baru. Entah dengan SD/SMP/SMA/SMK, apakah juga melakukan "strategi keuangan" seperti itu juga.

Trus bagaimana nantinya adik-adik saya (kebetulan saya punya dua orang adik) atau anak-anak di Indonesia lainnya yang masih berumur muda (khususnya yang dari "keluarga lemah ekonomi" seperti saya) kalau nanti pengin kuliah? Apa orang tua mereka harus selalu menjual tanahnya untuk biaya pendidikan yang tinggi ini, trus akhirnya nanti nggak ada lagi yang harus dijual? Itupun OK saja kalaupun nantinya langsung bekerja dan dapat upah yang mencukupi, tidak sia-sia orang tua membiayai anak untuk sekolah mahal-mahal. Karena kita juga tahu kalau lapangan pekerjaan tidak selalu ada, bisa kita bandingkan antara jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dengan lapangan pekerjaan yang tersedia setiap tahunnya, walaupun saya tidak bisa memastikannya dengan tepat, tapi jelas sekali bahwa jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dari SMA/SMK(yang tidak melanjutkan ke PT atau mahasiswa yang sudah selesai) lebih besar daripada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tiap-tiap tahunnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur, karena di Nusantara ini dipenuhi oleh orang-orang pinter yang sangat buanyak bahkan melebihi daya tampung yang tersedia. Sebenarnya masalah seperti ini sudah agak kadaluwarsa untuk saya ungkapkan, karena sudah dari dulu masyarakat kita menyuarakan masalah ini, tapi tidak tahu kenapa masih saja mengganjal dalam hati setiap "orang tua kere" yang ingin menyekolahkan anaknya setinggi langit.

Semoga tulisan ini dibaca oleh pemikir-pemikir jenius agar nantinya bisa menambah kegiatan mereka untuk membantu Negara dalam memajukan dan memurahkan pendidikan, serta menyediakan penyaluran tenaga kerja yang luas sehingga jumlah calon tenaga kerja dan lapangan pekerjaan nantinya seimbang dan setiap orang dapat makan-tidur dengan tenang.

Memang benar apa yang dituliskan dalam artikelnya bapak R. J. Kadarisman "KOK MUMET SEKOLAH", ya jawaban dari saya sebagai anak orang tua yang menyekolahkan saya, karena semua berbelit ke masalah keuangan. Mungkin kalau anak-anak SD, SMP, atau mungkin sebagian pelajar SMA/SMK belum mau/sempat memikirkannya.. Nanti kalu mereka sudah seumuran saya, mereka juga akan ikut mumet pak..:L
Teriamaksih kepada Pendidikan.net
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.