Selasa, 27 Oktober 2009

Artikel: Advokasi madrasah di gresik

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian Mohon Pilih.
Nama & E-mail (Penulis): M. Saifullah
Saya Dosen di Gresik
Tanggal: 17 mei 2004
Judul Artikel: Advokasi madrasah di gresik
Topik: penguatan Inisiatif Madrasah dalam pengusulan Kebijakan Publik daerah gresik

Salam,
Naskah ini berasal dari proses legislasi yang diinisiasi oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Gresik bersama para akademisi Gresik, aktifis Gresik, praktisi hukum gresik dalam mengawal pengusulan kebijakan daerah yang berkaitan dengan madrasah Gresik.

Proses diawali dengan penelitian tentang kesiapan institusi lokal dalam merespon otonomi daerah (2001), yang kemudian dilanjutkan dengan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan daerah(sept 2002-apr 2003). Terakhir, melakukan penguatan inisiatif warga dalam pengusulan kebijakan publik daerah(mei 2003-nov2004.

saat ini masih dalam proses pengawalan dan membutuhkan dukungan yang seluas-luasnya dari semua pihak.
salam,
saiful
koordinator PATTIRO Gresik
Jl. Pontianak I/35 GKB Gresik

Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwasannya kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Sedang kewenangan bidang pemerintahan yang dilaksanakan daerah meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, dalam PP. No. 25 Tahun 2000 disebutkan, bahwa kewenangan daerah juga meliputi penetapan kurikulum muatan lokal pada TK, SD, dan SLTP; dan untuk merencanakan, menetapkan dan mengelola pendidikan di antaranya adalah memfasilitasi peran serta masyarakat di bidang pendidikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan karir tenaga kependidikan, membina pengelolaan sekolah, dan melaksanakan inovasi pendidikan.

Bila menatap kebijakan yang ada di kabupaten Gresik, seharusnya bidang pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah Gresik, dan sudah termaktub dalam renstra Kabupaten Gresik. Hal itupun, tentunya sejalan dengan arah kebijakan umum (prioritas pembangunan) kabupaten Gresik. Dengan begitu, misi pembangunan Gresik dapat dijalankan oleh dinas-dinas di unitnya masing-masing. Sehingga nanti misi kabupaten Gresik menjadi visi dari dinas-dinas.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, bahwasannya pendidikan diwenangkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termaktub dalam visi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik, yaitu mencita-citakan terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, dan sejahtera. Sementara, misi yang diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik adalah terwujudnya masyarakat yang agamis dan modern. Sayangnya, prinsip demokrasi, partisipasi, pemerataan, keadilan, yang memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan merupakan hakekat otonomi daerah belum tampak.

Salah satu potensi daerah Kabupaten Gresik adalah madrasah. Dengan berbagai keanekaragamannya, madrasah sarat dengan permasalahan. Permasalahan itu timbul tatkala semua kebijakan (pemberian THR, mekanisme distibusi dan subsidi dana, sengketa guru dengan Yayasan, dll) dianggap tak dilandasi kepastian hukum dan tidak sesuai aturan.

Sejak pemberlakuan otonomi pendidikan di kabupaten Gresik pada tahun 2001, stereotif pada komunitas madrasah masih layak untuk ditindaklanjuti. Bila terkait dengan kebijakan yang ada saat ini, yaitu pemberian subsidi dan THR kepada guru swasta, namun tidak didasari kepastian hukum. Sehingga, dapat saja kebijakan tersebut diubah bahkan ditiadakan. Maka, perhatian Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permasalahan di atas perlu diupayakan.

Kondisi di atas, seharusnya ada indikator dan menjadi target dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik agar terjadi sinergi yang dinamis dan sehat antara lembaga negeri dan swasta. Untuk menunjang sinergi sebagaimana visi di atas, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan agamis perlu persiapan dengan segera melakukan konsolidasi ke dalam. Bentuk konsilidasi ini dapat berupa pemberdayaan di tingkat internal pelaku dan komunitas madrasah agar kelak dapat menghadapai tantangan sebagaimana visi dan misi yang diamanatkan pemerintah daerah. Lebih lanjut, dituangkan dalam visi Subdin Pergurais, yaitu terciptanya lembaga pendidikan agama Islam yang berkualitas, minimal sejajar dengan lembaga pendidikan umum. Disebutkan pula dalam misi Pergurais kelak diharapkan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar (poin 4)

Rupanya, langkah-langkah Pemkab dalam memberi kebijakan, dirasa masih belum menyentuh esensi kebutuhan dan kepentingan subyek dan stakeholder pendidikan pada umumnya dan sangat signifikan apabila ada suatu kepastian hukum (regulasi) bagi guru madrasah maupun swasta yang ikut berpartisipasi dan berperan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal demikian, sejalan dengan pasal 8 UU Sisdiknas, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sehingga, produk payung hukum yang tercipta kelak menjadi inisiatif bagi pembuat kebijakan Gresik (eksekutif dan legislatif), dan penentu kebijakan selanjutnya, untuk tetap perlu mengimplikasikan produk-produk hukum atas inisiatif masyarakat (bottom up). Proses di atas dapat diawali dengan munculnya inisiatif guru-guru madrasah dan komitmen yang kuat penentu kebijakan (anggota dewan, Dinas, dll.) untuk menjadikan pendidikan Gresik lebih baik dan bermutu. Lebih lanjut, akan sangat mudah bila saat ini sudah ada nilai esensial yang berjalan (usulan Guru madrasah dan komitmen penentu kebijakan) dan dapat menggagas suatu konsep ideal kepastian hukum peraturan di daerah.

Parameter keberhasilan pendidikan di Gresik secara umum (sosiologis, ekonomis, antropologis) belum pernah diteliti dan dikaji secara komprehensif, sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat Gresik "sampai saat ini" belum dapat diukur secara pasti, dan perlu ada tindakan nyata dari semua unsur masyarakat. Apalagi, dengan adanya moment Pemilu dan Pilkada, masyarakat Gresik cenderung refresif dan sangat rentan terhadap terjadinya berbagai krisis. Krisis multidimensi tersebut mengarah pada menurunnya kesalingpercayaan, baik secara horisontal maupun vertikal, baik dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten sehingga mengancam persatuan di daerah. Oleh karena itu, sektor pendidikan daerah, khususnya madrasah adalah bagian dari tantangan yang sangat berat untuk ikut mengatasi situasi krisis yang ada di kabupaten Gresik.

Berarti, konsekuensi logis sektor pendidikan, pada dasarnya tidak steril dari berbagai pengaruh sistem kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sistem kehidupan tersebut seharusnya secara sinergis memberikan dukungan bagi setiap upaya pembangunan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem yang ada belum dapat memberikan dukungan sepenuhnya, sehingga sektor pendidikan belum mampu ikut menanggapi secara optimal krisis multidimensi yang dihadapi Kabupaten Gresik saat ini.

Adanya upaya pembaharuan, pengembangan, dan pemberdayaan sistem pendidikan di daerah harus disikapi agar sistem itu mampu membackup berbagai tantangan di daerah. Upaya tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menciptakan sistem pendidikan di daerah yang memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dan berciri khas lokal. Dengan cara demikian sistem pendidikan daerah dapat menjaga kemanfaatannya bagi upaya pencerdasan masyarakat Gresik dan mampu menanggapi secara proaktif berbagai tuntutan kehidupan nasional, dan global.

Dalam era desentraslisasi, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan daerah Gresik meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan rendahnya kesejahteraan guru swasta, kurangnya sarana dan prasarana pendukung, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sehingga hal itu terkait dengan pemerataan (siswa-guru), mutu (siswa-guru-lembaga), relevansi (pengangguran-drop-out), dan efisiensi dan efektifitas. Meski dilandasi kesadaran dari pelaku madrasah di Gresik, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pada saat ini masih bersifat insidental dan instant, serta dipandang hanya sebagai bentuk belas kasihan dari pemerintah.

Menurut pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ditambahkan, dalam pasal 11 ayat (2), bahwasannya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendididkan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Maka, keberhasilan sistem pendidikan daerah (madrasah) dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut akan sangat menentukan kemampuan generasi mendatang untuk membangun kehidupan masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, sejahtera, dan demokratis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan survey dan kajian yang dilakukan PATTIRO Gresik mulai tahun 2001 hingga 2003, persoalan yang muncul di komunitas madrasah meliputi jaminan kesejahteraan Guru Madrasah, pemberian kesempatan berkembang yang sama, transparansi dalam penentuan bantuan, peningkatan quota Guru yang diperbantukan ke Madrasah, kontribusi perusahaan di daerah ke Madrasah, kepastian jenjang karir bagi Guru Madrasah, BKM yang tidak imbang, pengelolaan Depag yang terpusat, Siswa MTs banyak yang tidak mampu, Implementasi tidak terarah, BKM dan BKG tidak merata, Implementasi tak sesuai aturan, distribusi anggaran/bantuan tidak transparan, pelibatan madrasah dalam penyusunan panitia bersama, pelibatan madrasah dalam rayonisasi, dan kebijakan UAS dikaji ulang.

C. Rumusan Masalah

Terkait dengan kompleksnya permasalahan yang ada di madrasah, yang menjadi tantangan dberkaitan dengan permasalahan madrasah meliputi:

1. Arah orientasi kebijakan

Pengambilan kebijakan, selama ini, masih saja bersifat top-down, mulai dari perumusan (perencanaan-penganggaran), pelaksanaan, maupun evaluasi. Minimnya peran dan partisipasi pelaku madrasah dalam setiap pengambilan kebijakan menyebabkan masalah baru dalam implementasi. Hal ini sebagai indikator bahwa relasi guru madrasah swasta (as a social society) dengan Pemerintah masih rendah. Rendahnya relasi dan posisi tawar guru madrasah menyebabkan berbagai permasalahan.

Pengambilan keputusan selama ini hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja di kalangan pemerintahan. Masyarakat umum dan madrasah pada khususnya kesulitan mengenai rencana yang disusun sebagai kebijakan pendidikan. Hal ini tentu mengurangi optimalisasi pelaksanaan, karena kebijakan yang diambil seringkali teralienasi dari kenyataan di lapangan.

2. Kebijakan Departemen Agama

Korelasi konkrit antara kebijakan yang ada, mulai dari Komite Sekolah/Majlis Madrasah, Kelompok Kerja Madrasah, sampai dengan Dewan Pendidikan, mengacu pada kebijakan Pusat. Kebijakan tersebut "memang" bertujuan agar pola hubungan antara masyarakat, wali murid, guru, dan yayasan serta pemerintah cukup berimbang dan saling bahu-membahu dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, implementasi kebijakan tersebut masih sebatas formalitas. Kultur yang demikian perlu pemberdayaan paradigma bagi pelaku dan stakeholder pada umumnya.

3. Pelaksanaan evaluasi

Saat ini, berbagai mekanisme tentang pengalokasian dana untuk penyelenggaraan UAS di setiap madrasah, bantuan dana operasional pendidikan, dan distribusi pengawasan Madrasah - umum swasta tidak berimbang. Ini dirasakan memberatkan dari segi pendanaan, waktu pengajaran yang berkurang dan tidak efektif.

Padahal, bila mengacu pada SKB antara Diksar dan Dikmen Depdiknas dan Dirjen Bagais Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN EVALUASI BELAJAR TAHAP AKHIR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 1999/2000, sekolah/madrasah yang mempunyai status diakui diperbolehkan untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Terkecuali sekolah/madrasah yang belum memiliki status diakui atau disamakan. Namun pada kenyataanya, madrasah yang sudah memiliki status diakui dan disamakan masih harus mematuhi kebijakan SKB Dikbud dan Depag Gresik tentang pengawasan mata pelajaran umum dan agama. Sehingga, mata pelajaran umum menjadi kewenangan pengawas sekolah umum, sementara beban anggaran, ada pada madrasah yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena mata pelajaran yang diampu oleh pengawas mata pelajaran agama dan umum tidak sama.

Dalam hal layanan informasi yang berkaitan dengan perencanaan anggaran, dominasi Pemerintah terlalu kuat dibanding masyarakat. Seharusnya, berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (2) UU. No. 20 Tahun 2003, bahwasannya masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dalam pasal 58.

Tambahan pula, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana kabupaten Gresik, layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Dari 115.313 usia 0-6 tahun, yang terlayani pendidikannya hanya sekitar 20 %. Usia 7-12 tahun yang belum terlayani pendidikannya sekitar 1.596 anak, usia 13 - 15 tahun sebanyak 4.434 anak, dan anak usia 16 - 18 tahun sebanyak 22.671 anak, lainnya melalui kelompok bermain (Kompas, 20 Juni 2003)

Berkaitan dengan output lulusan, diperkirakan, setelah adanya kebijakan Kepmen Diknas RI Nomor 011/U/2002, Kepmen Diknas RI Nomor 012/U/2002, Kakandikbud Jatim Nomor 050/64/108.03/2003, dan Edaran Kakanwil Depag Jatim Nomor W.m/6-a/PP.01.1/204/2003 tentang Surat Tanda Kelulusan (STK) dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dengan bahwa peserta ujian dianggap lulus hanya jika nilai rata-ratanya 3,00 dari nilai murni Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan demikian standar nilai ini akan semakin menambah jumlah anak yang tidak berhasil lulus dan putus sekolah. Selanjutnya ketidaklulusan ini akan menyulitkannya dalam mencari pekerjaan dan menambah pengangguran. Bahkan, tahun depan telah direncanakan pemberlakuan standar nilai minimal kelulusan adalah 4,01.

Menurut data BKKBN Gresik, laju pertumbuhan penduduk Gresik tahun 2002 diproyeksikan akan mencapai 1,65 persen (BKKBN, 2002). Lebih dari separuh penduduk (60%) terkonsentrasi di pedesaan. Dengan demikian, kebutuhan akan kesempatan memperoleh pendidikan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya anak usia sekolah.

Hal itu menandakan bahwa, ketidakmerataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok: (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil (0.0872), (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya., (c) wanita, indikatornya adalah pendidikan ibu terakhir tamat SD/MI (24,4 %) dan tamat SMP/MTs (25,2 %) (Balitbangda, 2004) Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masalah tersebut dapat menghambat penegakan hak asasi manusia. Semua persoalan itu, pada gilirannya, dapat menghambat pembangunan kabupaten Gresik menuju terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, demokratis, berkeadilan, dan sejahtera. Tantangan tersebut perlu segera dijawab melalui kebijakan dan strategi yang tepat.

4. Mutu Pendidikan

Dalam aspek mutu kinerja sistem pendidikan belum sesuai dengan harapan daerah Gresik, bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar nasional. Hal ini tandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk yang buta huruf, yaitu berkisar 5.999 jiwa. Berdasarkan indek pengembangan manusia (IPM), IPM Gresik mencapai 0,62 %. Artinya, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan standar hidup layak masyarakat Gresik dikategorikan menengah ke bawah. (Balitbangda, 2004)

Selain itu, ukuran standar kinerja belum ada. Anehnya, sudah tercantum Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) pada RAPBD 2004 (bisa dikaji ulang adanya pasal 2 (4) huruf b PP No. 25 Tahun 2000 dan pasal 8 dan 20 (1) PP. No. 105 Tahun 2000). Sehingga, indikator pengukuran satuan kinerja per unit sulit diukur. Teorinya, indikator rendahnya mutu pendidikan; untuk siswa dapat dilihat pada jumlah siswa yang lulus dibanding siswa yang tinggal kelas dan putus sekolah. Guru, dilihat dari kualifikasi dan kompetensi dibanding kesejahteraan, masyarakat yang melek huruf dibandingkan dengan yang buta huruf. Jumlah angka usia produktif dan angka pengangguran berdasarkan kualifikasi pendidikannya.

Menurut Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992), studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Selain itu, hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.

Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan adalah kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Gresik. Indikator-indikatornya adalah merebaknya pemakai narkoba (sekitar tahun 2003 banyak penangkapan pemakai dan pengedar narkoba di warung kopi), praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme, judi togel, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia (psk, miras, perkosaan), dan ketidakmampuan menyelesaikan kasus-kasus di komunitas terkait (PHK buruh plywood, trawl-nelayan). Indikator lain adalah eksploitasi pengelolaan sumber daya alam (asmeralda heiss, polowijo) sehingga diprediksi akan menambah jumlah pengangguran. Kegagalan pendidikan dalam membentuk moral kepribadian masyarakat Gresik tentu saja ikut memberikan andil pada masalah ini.

Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini belum berhasil memfasilitasi pengembangan masyarakat Gresik dengan segala ciri khas yang diinginkan, seperti telah disebut pada tujuan pendidikan nasional dalam UU SPN RI 2003.

Tantangan yang berkaitan dengan kualitas ialah bagaimana menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di era global, paling tidak untuk memberi keseimbangan antara lulusan negeri dan swasta. Keunggulan itu dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta keterampilan hidup yang bermartabat.

5. Relevansi

Pendidikan di Gresik juga masih mengalami masalah relevansi. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat dilihat dari banyaknya pengangguran, seperti ditunjukkan oleh data BKKBN 2002, jumlah pengangguran usia produktif 19 -35 tahun sebanyak 21.367 orang. Sementara jumlah penduduk yang masih belum mengenal huruf atau buta aksara mencapai 5.999 penduduk.(Kompas, 20 Juni 2003)

Di samping itu, berdasarkan data Balitbangda Gresik, bahwa jenjang pendidikan masyarakat Gresik masih rendah (30,85 %). Sementara itu, sulitnya lapangan pekerjaan di kabupaten Gresik akan menambah beban sosial di kemudian hari. Bahkan, berdasarkan data Dikbud, 2001/2002, tingkat anak putus sekolah untuk tingkat SD/MI sebesar 0,13 %; SLTP/MTs sebesar 0,60 %, dan 0,94 % untuk SM/MA. Kecilnya Angka Putus Sekolah akan menambah jumlah pengangguran. Ini berarti bahwa kurikulum pendidikan tidak menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja.

Tantangan relevansi pendidikan berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur ekonomi agroindustri dan manufaktur, manajemen masih bertumpu pada tenaga manusia dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi menengah ke bawah. Sementara itu, dalam era informasi dan komunikasi, manajemen bertumpu pada teknologi tingkat tinggi. Dalam kenyataannya pendidikan masih berorientasi pada cara-cara yang konvensional sehingga menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran program pendidikan keterampilan hidup yang berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan struktur ekonomi baru tersebut.

Implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan tersebut menggambarkan rendahnya kualitas potensi sumber daya manusia di Kabupaten Gresik untuk dapat memanfaatkan peluang bekerja pada sektor formal yang cenderung membutuhkan kualifikasi latar belakang pendidikan lebih tinggi. Idealnya transformasi struktur ekonomi Kabupaten Gresik yang telah berciri industri dapat dimanfaatkan oleh kelompok umur produktif (15 sampai 65 tahun) sebagai mata pencaharian utama apabila tingkat pendidikan yang dipersyaratkan oleh kesempatan kerja berkesesuaian satu dengan lainnya. Namun peluang kerja di sektor formal yang membutuhkan tingkat pendidikan formal setingkat SMA diisi oleh pencari kerja dari daerah lain, karena rendahnya rata rata tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Gresik.

0 komentar: